Ci Tarum adalah sungai terpanjang dan terbesar di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sungai dengan nilai sejarah, ekonomi, dan sosial yang penting ini sejak 2007 menjadi salah satu dari sungai dengan tingkat ketercemaran tertinggi di dunia. Jutaan orang tergantung langsung hidupnya dari sungai ini, sekitar 500 pabrik berdiri di sekitar alirannya, tiga waduk PLTA dibangun di alirannya, dan penggundulan hutan berlangsung pesat di wilayah hulu.
Panjang aliran sungai ini sekitar 300 km. Secara tradisional, hulu Ci Tarum dianggap berawal dari lereng Gunung Wayang, di tenggara Kota Bandung, di wilayah Desa Cibeureum, Kertasari, Bandung. Ada tujuh mata air yang menyatu di suatu danau buatan bernama Situ Cisanti di wilayah Kabupaten Bandung. Namun demikian, berbagai anak sungai dari kabupaten bertetangga juga menyatukan alirannya ke Ci Tarum, seperti Ci Kapundung dan Ci Beet. Aliran kemudian mengarah ke arah barat, melewati Majalaya dan Dayeuhkolot, lalu berbelok ke arah barat laut dan utara, menjadi perbatasan Kabupaten Cianjur dengan Kabupaten Bandung Barat, melewati Kabupaten Purwakarta, dan terakhir Kabupaten Karawang (batas dengan Kabupaten Bekasi). Sungai ini bermuara di Ujung Karawang.
Berikut ini adalah sebagian dari anak sungai yang mengalir ke Ci Tarum:
- Ci Beet
- Ci Kao
- Ci Somang
- Ci Kundul
- Ci Balagung
- Ci Sokan
- Ci Meta
- Ci Minyak
- Ci Lanang
- Ci Jere
- Ci Haur
- Ci Mahi
- Ci Beureum
- Ci Widey
- Ci Sangkuy
- Ci Kapundung
- Ci Durian
- Ci Pamokolan
- Ci Tarik
- Ci Keruh
- Ci Rasea
Ci Tarum dalam sejarah
Dalam perjalanan sejarah Sunda, Ci Tarum erat kaitannya dengan Kerajaan Taruma, kerajaan yang menurut catatan-catatan Tionghoa dan sejumlah prasasti pernah ada pada abad ke-4 sampai abad ke-7. Komplek bangunan kuna dari abad ke-4, seperti di Situs Batujaya dan Situs Cibuaya menunjukkan pernah adanya aktivitas permukiman di bagian hilir. Sisa-sisa kebudayaan pra-Hindu dari abad ke-1 Masehi juga ditemukan di bagian hilir sungai ini.
Sejak runtuhnya Taruma, Ci Tarum menjadi batas alami Kerajaan Sunda dan Galuh, dua kerajaan kembar pecahan dari Taruma.
Ci Tarum juga disebut dalam Naskah Bujangga Manik, suatu kisah perjalanan yang kaya dengan nama-nama geografi di Pulau Jawa dari abad ke-15.
Perubahan Geomorfologi Citarum Sejak 55.000 Tahun yang Lalu
SUNGAI Citarum pernah dijadikan batas kerajaan-kerajaan wilayah di Tatar Sunda. Nama sungai ini diambil dari nama tanaman (nila). Daerah hulunya di Cisanti – Gunung Wayang, pernah dijelajahi satria pengembara Bujangga Manik (abad ke-15 atau ke-16). Saat melintasi kawasan Priangan ini, Bujangga Manik sudah mengenal dengan baik sakakala Sangkuriang kesiangan, seperti yang ia tuliskan dalam catatan perjalanan mengelilingi pulau Jawa dan Bali seorang diri.
Sungai ini mempunyai peran yang sangat penting dalam perkembangan manusia dan kebudayaan masyarakatnya. Secara alami, Bandung berada di kuali raksasa Cekungan Bandung.
Ke dalam cekungan ini mengalir sungai-sungai yang bersumber dari gunung-gunung yang berada di pinggiran kuali raksasa tersebut, lalu sungai itu berbelok mengalir ke arah Barat Laut, sesuai arah kemiringan wilayah ini.
Pinggiran Cekungan Bandung terdiri dari rangkaian gunung-gunung. Di utara, ada Gunung Burangrang, Gunung Sunda, Gunung Tangkuban Parahu, Bukit Tunggul, dan Gunung Putri. Sebelah timur ada Gunung Manglayang, di selatan ada Gunung Patuha, Gunung Tilu, Gunung Malabar, Gunung Mandalawangi. Di bagian tengah ada rangkaian gunung api tua, dan di barat dibentengi rangkaian bukit-bukit kapur Rajamandala. Bandung memang dilingkung gunung!
Ketika pantai utara (pantura) pulau Jawa masih di sekitar Pangalengan sekarang, cekungan Bandung masih berupa laut dangkal yang ditumbuhi binatang koral yang indah. Perbukitan kapur di Tagogapu – Rajamandala adalah salah satu buktinya. Terus terjadi proses pengangkatan kulit bumi, sehingga pantai utara pulau Jawa bergeser terus ke arah utara. Karena arah pengangkatan kawasan Bandung Raya ini berasal dari selatan, air akan mengalir ke Utara, termasuk aliran induk Citarum.
Saat Kala Pliosen, sekira 4 juta tahun yang lalu, terjadi kegiatan gunung api di selatan Cimahi, dibuktikan dengan adanya Pasir Selacau, Pasir Lagadar, dan lain-lain yang mengarah utara – selatan. Dengan lahirnya gunung api intrusif ini, aliran Citarum menyusuri kaki timur rangkaian gunung api tua ini, dan terus mengalir ke utara melewati Padalarang sekarang. Nantinya rangkaian gunung api purba ini menjadi Pematang Tengah yang memisahkan Danau Bandung Purba Timur dengan Danau Bandung Purba Barat.
Baru pada zaman kuarter kala Plestosen, lahirlah Gunung Sunda. Gunung api ini tingginya lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut (dpl.). Pada kala ini pula Gunung Sunda meletus dahsyat hingga membentuk kawah yang sangat luas (kaldera), disusul terjadinya patahan Lembang yang memanjang timur – barat sepanjang 22 km dari kaki Gunung Manglayang hingga sebelah barat Cisarua.
Bagian utaranya relatif turun sedalam 450 m, terutama di bagian timur patahan, sementara bagian selatan relatif tetap pada posisinya. Aliran Citarum berbelok ke Barat menyusuri sisi patahan yang sekarang dialiri Cimeta.
Mengisi patahan Lembang
Gunung Tangkuban Parahu meletus sekitar 125.000 tahun yang lalu dari sisi timur kaldera Gunung Sunda. Material letusannya sebagian mengisi patahan Lembang, dan sebagian lagi mengalir ke arah barat daya Bandung.
Letusan dahsyat berikutnya terjadi sekitar 55.000 tahun lalu. Material letusannya membanjir menutupi wilayah yang sangat luas hingga ke daerah Kopo dan Leuwigajah di selatan. Material gunung api yang luar biasa banyaknya itu telah membendung Citarum purba di utara Padalarang hanya dalam hitungan puluhan menit. Maka terbentuklah Danau Bandung purba.
Akibatnya, ada bagian Citarum yang hilang karena tertimbun material letusan, dan induk Citarum dari daerah yang terbendung ke hilir menjadi anak Sungai Citarum yang namanya berubah menjadi Sungai Cimeta. Sungai Cimeta bertemu kembali dengan Sungai Citarum.
Saat Bandung menjadi danau, kawasan ini sudah dihuni manusia. Hal ini terbukti dengan ditemukannya artefak dari batu obsidian yang berupa mata anak panah, mata tombak di atas garis kontur +712,5 dpl. yang bahan bakunya diambil dari Gunung Kendan di sekitar Nagreg, serta kerangka ngaringuk di Gua Pawon.
Pada saat Bandung menjadi danau raksasa, dan ketika air genangannya mulai bersentuhan dengan dinding perbukitan di sisi barat danau, sejak itulah air merembes di dinding danau dan membentuk mata air di bawahnya, yang kemudian menjadi salah satu anak Citarum purba.
Sekitar 18.000 tahun yang lalu, muka air laut turun sangat dalam, sehingga laut dangkal seperti Laut Jawa, Selat Sunda, Selat Malaka, dan Laut Cina Selatan menjadi kering, dan dasarnya bisa dilalui hewan dan manusia yang bermigrasi. Akibat dari susut laut ini, akan terjadi erosi ke arah hulu sungai yang luar biasa besarnya.
Inilah salah satu penyebab kuatnya erosi mudik yang mengikis hulu sungai hingga dapat membobol hulu sungainya di antara Puncaklarang dan Pasir Kiara, yang merupakan dinding barat Danau Bandung purba.
Akhirnya Danau Bandung purba mendapat penglepasan di celah-celah bukit tipis (hogback/pasiripis/lalangasu) antara Puncaklarang dan Pasir Kiara. Dengan bobolnya Danau Bandung purba barat.
Terowongan/sungai bawah tanah (Sangiangtikoro), ternyata bukan tempat bobolnya Danau Bandung purba. Terdapat perbedaan ketinggian antara 300-400 meter antara Sangiangtikoro dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai bibir Danau Bandung purba yang mencapai ketinggian 712,5 meter dpl. (Budi Brahmantyo, 2001).
Derasnya aliran air Danau Bandung purba Barat telah mengikis ke arah hulu, dan menggerus dan menjebol celah Danau Bandung purba Timur di Curug Jompong. Setelah bekas danau Bandung purba menjadi kawasan basah, aliran Citarum memotong Pematang Tengah menuju arah Barat. Maka terjadi perubahan aliran sungai, yang asalnya anak sungai berubah menjadi induk Citarum.
Pada akhir abad ke 20, aliran Citarum di bagian tersempit di Selatan Rajamandala sengaja dibendung menjadi Danau Saguling untuk memenuhi kebutuhan energi listrik Jawa dan Bali. Akibatnya ada bagian Citarum yang tergenang danau, dan sungai di bagian hilir bendungan menjadi sungai, karena aliran air dari danau itu dialirkan melalui dua pipa luncur untuk memutarkan turbin di Pembangkit Listrik di sekitar Sangiangtikoro.
Perubahan aliran Citarum di Cekungan Bandung terus berjalan hingga kini. Pengelolaan lahan di hulu sungainya telah menyebabkan pendangkalan sungai dan danau begitu cepatnya. Nasib Citarum bertambah mengenaskan dengan pencemaran limbah industri yang sudah melampaui batas.
Apa yang akan terjadi kalau tiga danau yang berada di aliran Citarum terus mendangkal karena pelumpuran yang sangat tinggi? Akankah arah Citarum berbelok lagi?
CITARUM, sungai terpanjang di Jawa bagian barat, merupakan sungai yang mengalir tepat membelah tengah-tengah Tatar Priangan. Berhulu di Gunung Wayang, salah satu anak Gunung Malabar, mengalir melalui cekungan Bandung ke arah utara, dan bermuara di ujung Karawang, di Laut Jawa. Sepanjang alirannya sekira 225 km, dari waktu ke waktu sungai ini merekam kebingungan manusia dalam memahami alam.
Citarum merupakan sungai yang memegang peranan penting dalam sejarah Jawa Barat. Pertama, nama sungai diambil pula sebagai nama kerajaan Hindu tertua di Jawa Barat, yaitu Tarumanegara, pada abad ke-5. Menurut Carita Parahyangan, sebuah tanah merdeka diberikan oleh Raja Tarumanegara, Purnawarman, kepada Resiguru Manikmaya di daerah Kendan, Nagreg, yang boleh dikatakan berada di kawasan hulu Citarum. Kerajaan kecil ini kemudian oleh Wretikandayun, cucu Manikmaya, dialihkan ke Galuh. Berdirinya Kerajaan Galuh telah membagi kerajaan di Tanah Sunda menjadi dua dengan batas Sungai Citarum.
Pada masa-masa awal berdirinya Kota Bandung pada tahun 1810, Krapyak, Ibu Kota Tatar Ukur yang meliputi cekungan Bandung, berada di tepi Sungai Citarum. Setelah kepindahannya ke Kota Bandung sekarang, Krapyak lalu berubah nama menjadi Dayeuh Kolot (Kota Tua). Sepanjang Citarum saat itu besar kemungkinan merupakan deretan kampung-kampung yang mengandalkan sungai Citarum sebagai akses utama Tatar Ukur sebagaimana kebudayaan lama yang selalu mengandalkan aliran sungai.
Pada masa modern ini, bukan main jasa Citarum bagi rakyat Pulau Jawa. Dari alirannya telah terbangun tiga bendungan besar yang memberi energi listrik untuk Jawa dan Bali, dan air irigasi untuk Jakarta dan Jawa Barat utara. Bendungan-bendungan itu, yaitu Jatiluhur dibendung tahun 1967, Saguling 1985, dan Cirata 1988, seakan-akan merupakan ramalan yang terwujud dari Legenda Sangkuriang yang juga membendung Citarum untuk dapat menyunting Dayang Sumbi.
Cerita singkat sejarah Citarum di atas selain mencatat kedigdayaan manusia atas alam, tetapi juga di balik itu mengandung kebingungan manusia dalam memahami alam. Kebingungan itu terutama terjadi pada akhir-akhir ini ketika akibat bencana banjir yang selalu mendera setiap tahun, beberapa orang yang merasa digdaya atas alam, dengan semena-mena menyalahkan alam sebagai penyebab bencana.
Pemanfaatan
Sejak lama Ci Tarum dapat dilayari oleh perahu kecil. Penduduk di sekitarnya memanfaatkan sumber daya perikanan dan menggunakannya untuk keperluan hidup sehari-hari. Belum pernah ada laporan terbuka mengenai jenis-jenis biota yang menghuni sungai ini.
Karena banyaknya debit air yang dialirkan oleh sungai ini, maka dibangun tiga waduk (danau buatan) sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan juga untuk irigasi persawahan di sungai ini:
1. PLTA Saguling di bagian paling hulu
2. PLTA Cirata
3. PLTA Ir. H. Djuanda atau lebih dikenal sebagai PLTA Jatiluhur
Air dari Ci Tarum dimanfaatkan sebagai pasokan air minum untuk sebagian penduduk Jakarta. Irigasi di wilayah Subang, Karawang, dan Bekasi juga dipasok dari aliran sungai ini. Pengaturannya dilakukan sejak Waduk Jatiluhur.
Pencemaran
Keadaan lingkungan sekitar Ci Tarum telah banyak berubah sejak paruh kedua dasawarsa 1980-an. Industrialisasi yang pesat di kawasan sekitar sungai ini sejak akhir 1980-an telah menyebabkan menumpuknya sampah buangan pabrik-pabrik di sungai ini.
Setiap musim hujan di sepanjang Ci Tarum di wilayah Bandung Selatan selalu dilanda banjir. Setelah Banjir besar yang melanda daerah tersebut pada tahun 1986, pemerintah membuat proyek normalisasi sungai Citarum dengan mengeruk dan melebarkan sungai bahkan meluruskan alur sungai yang berkelok. Tetapi hasil proyek itu sia sia karena sejak itu tidak ada sosialisasi terhadap masyarakat sekitar sehingga sungai tetap menjadi tempat pembuangan sampah bahkan limbah pabrik pun mengalir ke sungai Citarum. Sehingga sekarang keadaan sungai menjadi sempit dan dangkal, sampah dimana mana, warna airpun hitam pekat. akhirnya sampai kini setiap tahun di musim hujan wilayah Bandung Selatan selalu dilanda banjir, bahkan setiap tahun ketinggian banjir selalu bertambah. Apabila anda berkunjung ke Bandung selatan akan terlihat jelas keadaan Sungai Citarum saat ini.
Menyalahkan Curug Jompong
Ketika banjir selalu datang menyergap Bandung Selatan sepanjang aliran Citarum antara Majalaya dan Dayeuh Kolot, tiba-tiba saja seseorang yang merasa digdaya atas alam menyalahkan Curug Jompong sebagai penyebab bencana itu. Sungguh aneh, manusia yang baru lahir akhir-akhir ini saja berani menyalahkan Curug Jompong yang dibentuk oleh batuan dasit sejak 4 juta tahun yang lalu. Sungguh membingungkan pula menyalahkan aliran Citarum yang bergerak pelan berkelok-kelok yang telah dilakoninya sejak berribu-ribu tahun yang lalu sebagai penyebab bencana banjir itu.
Memang keberadaan Curug Jompong yang seolah-olah membendung aliran Citarum di daerah Nanjung, menyebabkan alirannya di bagian hulu bergerak sangat pelan. Respons alam terhadap adanya halangan ini adalah terakumulasinya sedimen di daerah dataran Bandung Selatan yang terbawa dari jaringan sungai-sungainya yang berhulu di lereng-lereng gunung api di sekeliling cekungan Bandung. Akibat semua ini, aliran sungai berusaha menambah kapasitas tampungnya, tidak dengan memperdalam lembahnya, tetapi dengan memperpanjang alirannya. Tetapi karena keterbatasan ruang akibat adanya penghalang Curug Jompong itu, proses memperpanjang aliran sungai adalah dengan cara membuatnya berkelok-kelok, atau disebut meander.
Namun demikian dalam waktu-waktu tertentu ketika curah hujan tinggi, daya tampung itu terlampaui pula. Sungai kemudian mempunyai alternatif kedua untuk menambah daya tampungnya yaitu dengan menciptakan lahan-lahan yang disebut dataran banjir (flood plain). Lahan-lahan ini hanya tergenang ketika musim hujan saja, dan kering pada musim kemarau.
Pada tahun 1980-an, masalah banjir Bandung selatan telah dibahas alot. Dalam pembahasan itu keluarlah beberapa faktor yang dijadikan kambing hitam bencana banjir Bandung selatan, di antaranya dua penyebab di atas yaitu aliran pelan bermeander dengan gradien sungai sangat kecil, dan penghalang Curug Jompong. Penyebab lain adalah karena hampir seluruh anak-anak sungai bermuara ke Citarum di tempat yang hampir berdekatan. Sungai-sungai Cikeruh, Citarik, dan Cirasiah bermuara ke Citarum di Majalaya, serta Cikapundung dan Cisangkuy di Dayeuh Kolot. Tambahan pula, anak-anak sungai itu masuk ke Citarum dalam arah tegak lurus. Bagaikan di persimpangan jalan yang ramai, maka kemacetan aliran air terjadi pula di pertemuan sungai-sungai ini pada puncak musim hujan. Maka meluaplah air sungai menggenangi dataran banjir yang terbentuk sepanjang alirannya dari Majalaya ke Dayeuh Kolot.
Proses di atas adalah proses yang sangat alamiah dari suatu aliran sungai sebesar Citarum yang telah dilakoninya sejak beribu-ribu tahun. Sejak mengalir dari sumbernya di Cisanti, lereng Gunung Wayang selatan Gunung Malabar, Sungai Citarum mengalir melalui lembah yang menyayat tajam di daerah Pacet hingga Maruyung. Di daerah selatan Majalaya, Sungai Citarum membentuk kipas aluvial akibat masuknya aliran sungai dari daerah pegunungan ke dataran. Mulai dari daerah Jolok di Majalaya yang bermorfologi sangat datar, Citarum mengekspresikan alirannya dengan meander yang berkelok-kelok melengkung-lengkung hingga Dayeuh Kolot dan Margahayu. Dari sinilah banyak anak-anak sungainya bergabung membentuk aliran yang lebih besar.
Memasuki daerah Nanjung di suatu tempat yang disebut Leuwi Sapi, sungai mulai mengikis tajam membentuk lembah berdinding terjal. Alirannya kemudian membentuk jeram cascade yang dikenal sebagai Curug Jompong, mengikis batuan intrusi dasit, sisa-sisa gunung api purba berumur Pliosen, kira-kira 4 juta tahun yang lalu. Setelah melewati jeram ini, gradien sungai meninggi dan aliran menjadi kencang sebelum berhenti ketika memasuki kawasan tenang Waduk Saguling di Batujajar.
Manusia-manusia pendatang baru memadati dataran sepanjang aliran sungai ini. Karena bermorfologi datar, maka pembangunan sangat mudah dilaksanakan. Tetapi seolah-olah para pendatang ini datang pertama kali pada musim kemarau, dan terkejut bukan main ketika mengalami musibah dibanjirinya rumah-rumah mereka di musim hujan. Seperti yang kita ketahui kemudian, sungai yang mengalir pelan karena terhalang Curug Jompong kemudian menjadi kambing hitam atas semua peristiwa musibah para pendatang baru di dataran banjir yang telah terbentuk beribu tahun yang lalu ini.
Solusinya tampaknya sangat mudah dan tanpa perhitungan, hancurkan Curug Jompong! Benar sekali jika Curug Jompong yang mempunyai beda tinggi sekira 12 m dihancurkan, maka aliran Sungai Citarum akan menggelontor cepat. Sekali Curug Jompong hancur, gradien sungai baru akan mengejar level dasar baru minus 12 m dari aliran semula. Ke arah hulu, tidak perlu ada pengerukan dasar sungai, karena sungai akan otomatis menggerus dasarnya secara vertikal mengejar level dasar baru itu.
Tentu saja seluruh jaringan sungai di hulu dari Curug Jompong jika dihancurkan akan mengikuti kesetimbangannya yang baru. Dalam jangka pendek masalah banjir memang teratasi. Tetapi, seluruh jaringan sungai itu secara proporsional akan merespons kecepatan erosinya, terutama secara vertikal. Erosi menyeluruh akan terjadi secara besar-besaran di seluruh cekungan Bandung hulu. Lembah-lambah baru akan terbentuk secara vertikal, dan bukan tidak mungkin akan meruntuhkan fondasi-fondasi jembatan di seluruh jaringan sungai di DAS Citarum hulu.
Akibat lain dari intensifnya erosi adalah terjadi sedimentasi yang justru semakin besar. Jika Curug Jompong dihancurkan, sedimen ini akan mengalir bebas memasuki Waduk Saguling, memperpendek umurnya. Suatu studi cukup tua di Amerika Serikat oleh Emerson, 1971, memperlihatkan bahwa penanggulangan banjir dengan cara sodetan dan pengerukan memang cukup efektif dalam jangka pendek, tetapi efek jangka panjangnya ternyata sangat merugikan.
Penghancuran penghalang Curug Jompong untuk penanggulangan banjir Bandung selatan, mungkin dapat dianalogikan ketika seorang petani digigit ular sawah yang tidak berbisa. Rasa sakit yang tidak seberapa dilampiaskan berupa dendam dengan membunuhi seluruh ular sawah. Dalam jangka pendek sang petani merasa lega terbebas dari ancaman gigitan ular. Tapi dalam jangka panjang kerugian yang luar biasa besar akan datang dengan merajalelanya hama tikus yang menghancurkan panennya. Janganlah kita seperti petani bodoh itu yang bertindak spontan tanpa perhitungan.